Kamis, 23 Juli 2009

Tidak Semua Pengawet Berbahaya

Ribut-ribut soal bahan pengawet sepertinya selalu awet. Belum reda isu penggunaan formalin, kita dikejutkan lagi dengan penarikan beberapa produk minuman yang melanggar aturan tentang pengawet.

Tapi pada saat yang sama, produsen minuman gencar beriklan produknya aman. Lalu seperti biasa, yang dibuat bingung kita-kita ini sebagai konsumen

Ketika ribut-ribut soal pemakaian formalin pada makanan, semua orang sepakat: formalin berbahaya bagi kesehatan, titik. Bahayanya tidak diragukan lagi. Tidak ada yang menyangkal. Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu hanya perkara tingkat bahayanya. Semua setuju formalin sama sekali tidak boleh dipakai sebagai pengawet makanan, berapa pun kadarnya dan apa pun alasannya.

Namun, pada kasus yang terjadi Desember 2006, ketika beberapa produk minuman kemasan ditarik dari pasaran, pendapat masyarakat tidak lagi seragam. Sebagian kalangan berpendapat, pengawet yang diributkan itu (natrium benzoat dan kalium sorbat) berbahaya bagi kesehatan jika diminum terus-menerus. Sebagian lagi berpendapat, kedua jenis pengawet itu aman dikonsumsi asalkan tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan.

Pendapat pertama diwakili oleh Komite Masyarakat Antibahan Pengawet (Kombet), lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan penemuan tentang pelanggaran itu. Dalam siaran persnya Kombet bahkan menyatakan, kedua jenis pengawet itu dalam jangka panjang bisa menyebabkan systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit yang menyerang kekebalan tubuh.

Tak ayal siaran pers Kombet ini langsung dibalas dengan siaran pers tandingan. Media massa seolah menjadi ring tinju. Tak kurang, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia serta Badan Pengawas Obat dan Makanan sampai perlu turun tangan memberi klarifikasi. Intinya, beberapa produk minuman kemasan memang melanggar aturan pelabelan dan karenanya harus ditarik dari pasaran. Meski demikian, tidak berarti produk-produk itu berbahaya jika dikonsumsi.

Aman asal taan ADI

Pengawet, seperti namanya, berfungsi membuat makanan atau minuman lebih awet sehingga punya daya simpan lebih lama. Nyaris semua produk makanan atau minuman kemasan mengandung bahan ini. Kecuali masyarakat suku pedalaman yang masih hidup dari berburu dan bercocok tanam, rasanya hampir semua orang pernah mengonsumsi pengawet. Entah dari minuman atau makanan kemasan.

Secara garis besar, pengawet dibedakan menjadi dua kelas: food grade dan non-food grade. Contoh paling gampang dari kelas food grade adalah dua pengawet yang bulan Desember 2006 diributkan, yaitu natrium benzoat dan kalium sorbat. Sementara contoh pengawet kelas non-food grade adalah formalin dan boraks, yang diributkan lebih dulu.

Selain keempat contoh pengawet di atas, sebetulnya masih banyak lagi jenis pengawet lainnya. Dari golongan pengawet food grade, masih ada propionat, sulfur dioksida, bisulfit, metabisulfit, nitrat, nitrit, dan parahidroksi benzoat. Sementara dari kelas non-food grade masih ada nitrofurazon, salisilat, dietilpirokarbonat, klorat, dan dulcin. Nama-nama ini mungkin terdengar asing bagi kebanyakan orang awam karena memang jarang disebut-sebut di teve.

Dalam ilmu pangan, pengawet golongan pertama (yang aman dipakai), biasa digolongkan sebagai generally recognized as safe (GRAS). Dalam bahasa sehari-hari, jenis pengawet ini kadang disebut sebagai pengawet makanan yang diizinkan. Sedangkan kelompok kedua disebut pengawet makanan yang tidak diizinkan.

Satu pengawet kadang muncul dengan beberapa nama. Sekadar contoh, pengawet benzoat kadang muncul dengan nama natrium benzoat, kadang sodium benzoat. Pengawet sorbat kadang ditulis sebagai kalium sorbat, kadang potassium sorbat.

Sebetulnya, nama-nama itu mengacu pada satu senyawa. Natrium bersinonim dengan sodium. Jadi, natrium benzoat sama saja dengan sodium benzoat. Begitu pula, kalium dan potasium itu setali tiga uang. Dengan kata lain, potasium sorbat itu sami mawon dengan kalium sorbat. Kadang kedua pengawet ini juga disebut sebagai asam benzoat dan asam sorbat. Penyebutan ini pun hanya untuk membedakan bentuk benzoat dan sorbat yang dipakai di dalam produk. Intinya sama-sama benzoat atau sorbat.

Sesuai kelompoknya, pengawet non-food grade sama sekali tidak boleh digunakan di dalam makanan dan minuman. Apa pun tujuannya, tahu tak boleh mengandung formalin, bakso tak boleh berisi boraks. Yang boleh dipakai hanya pengawet food grade. Itu pun harus mengikuti aturan tentang takaran maksimal.

Sebagai contoh, dosis maksimal benzoat 0,1%. Artinya, tiap kg produk tidak boleh mengandung asam benzoat lebih dari 1 g. "Asalkan batas maksimum ini tidak dilampaui, benzoat aman dikonsumsi," jamin Prof. Dr. Made Astawan, ahli teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor. Masalah kesehatan baru akan timbul kalau dosisnya melampaui batas maksimum ini. Pada kasus penarikan produk minuman dalam kemasan Desember 2006, tidak ada satu pun produk yang melanggar aturan ini.

Penentuan besarnya angka ini didasarkan pada konsep yang disebut acceptable daily intake (ADI). Konsep ini juga berlaku untuk bahan-bahan tambahan pangan lainnya macam pemanis, pewarna, penyedap rasa, dan sebangsanya. Biasanya, kita bisa menemukan informasi besarnya ADI di kemasan produk makanan atau minuman yang bersangkutan.

ADI itu jumlah maksimal suatu bahan tambahan yang bisa dikonsumsi setiap hari tanpa menimbulkan risiko kesehatan yang berarti. Dengan kata lain, asalkan tidak melampaui ADI-nya, bahan tambahan pangan seperti pengawet benzoat dan sorbat itu aman dikonsumsi. Tak perlu khawatir.

Ada di rempah dan buah

Lalu siapa yang berhak mengatakan aman dan tidak? Untuk urusan yang satu ini, dengan segala hormat, kita harus mempercayakannya kepada badan-badan resmi yang diakui secara internasional.

Di tingkat dunia, otoritas tertinggi ada di tangan World Health Organization (WHO). Sejauh ini, WHO menjamin natrium benzoat dan kalium sorbat aman dikonsumsi. Tak hanya WHO, jaminan ini juga diberikan oleh lembaga-lembaga internasional lain seperti Codex Alimentarus Commission (CAC), The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA), serta US Food and Drug Administration (FDA). Menurut Made Astawan, semua lembaga ini merupakan tempat rujukan utama dalam perkara yang menyangkut bahan tambahan pangan.

Di Indonesia, otoritas tertinggi dipegang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Pada kasus Desember lalu, Badan POM secara tegas mengeluarkan surat edaran yang menerangkan bahwa kedua jenis pengawet itu aman dikonsumsi. Keduanya sudah puluhan tahun dipakai sebagai pengawet di seluruh dunia. Kedua senyawa ini juga terdapat secara alami di dalam buah dan rempah tertentu yang biasa dikonsumsi manusia. Made Astawan memberi contoh, asam benzoat bisa ditemukan di dalam cengkih, kayumanis, dan beberapa buah berry tertentu. Itu sebabnya secara alami masakan yang kaya rempah biasanya lebih awet daripada yang tidak.

Di dalam tubuh, asam benzoat akan dimetabolisme di dalam liver. Pada organ ini, asam benzoat bereaksi dengan asam amino glisin, membentuk asam hipurat. Selanjutnya, produk asam hipurat ini dikeluarkan lewat urine. Mekanisme ini bisa mengeluarkan 66 - 95% benzoat dari dalam tubuh. Sisa benzoat yang masih tertinggal akan dimetabolisme dengan bantuan asam glukoronat. Lewat dua jalur metabolisme ini, benzoat dikeluarkan dari dalam tubuh. Sepanjang tidak ada gangguan liver, benzoat tidak akan terakumulasi.

Hingga sekarang belum ada penelitian ilmiah yang bisa menggugurkan data keamanan benzoat maupun sorbat. Kedua pengawet itu masih masuk kategori GRAS. Kalaupun ada kecurigaan bahwa kedua jenis ini berbahaya buat kesehatan, itu masih sebatas dugaan.

Tentang kasus penarikan produk minuman kemasan bulan Desember 2006, penyebabnya bukan karena pemakaian pengawet yang tidak diizinkan. Pelanggaran bukan pada pemilihan jenis pengawet, tapi pada pelabelan. Produk-produk yang ditarik itu nyata dan terang benderang membohongi konsumen karena tidak mencantumkan pengawet yang digunakan dalam produk mereka. Sebagian produk sama sekali tidak mencantumkan nama pengawet, padahal di dalamnya terdapat bahan tambahan ini. Sebagian lagi hanya mencantumkan satu nama padahal sebetulnya mengandung dua macam pengawet.

Karena pemakaian jenis pengawet maupun dosisnya tidak melanggar aturan, maka produsen produk-produk itu hanya dijerat pasal pelabelan. Badan POM hanya memerintahkan produk-produk itu ditarik dari pasaran. Meski begitu, minuman-minuman itu tetap aman dikonsumsi. Bagi awam, keterangan ini sekilas tampak membingungkan. Logikanya, kalau tidak berbahaya, kenapa harus ditarik dari peredaran? Di sinilah perlunya konsumen memahami batas. Pelanggaran pelabelan adalah satu hal. Sementara keamanan jenis pengawet adalah hal lain. Keduanya tidak boleh dikacaukan.

Bagaimanapun, temuan Kombet itu sebuah upaya perlindungan konsumen. Tapi kalau urusannya sudah menyangkut aman tidaknya pengawet, tentu ada pihak lain yang lebih berkompeten.

Hingga sekarang keamanan benzoat, sorbat, dan bahan pengawet food grade lainnya masih belum terbantahkan. Suka atau tidak, inilah pendapat yang paling kuat jika ukuran yang dipakai adalah kaidah penelitian limiah.

Meski begitu, tak sedikit kalangan yang menganggap, konsumsi bahan-bahan tambahan ini dalam jangka panjang bisa berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya, ini terlihat dari kasus penarikan produk minuman kemasan tiga bulan lalu itu. Produk-produk yang ditarik tidak mencantumkan pengawet atau hanya mencantumkan satu nama meskipun sebetulnya memakai dua pengawet. Pada saat yang sama, sebagian produsen gencar mempromosikan produknya yang bebas pengawet. Itu menunjukkan, masyarakat percaya klaim "tanpa pengawet" biasanya identik dengan "lebih aman" dari sisi kesehatan.

Terlepas dari benar tidaknya pandangan itu, adalah hak setiap orang untuk menghindari konsumsi bahan tertentu. Konsumen berhak tahu apa yang ia beli dan ia konsumsi. Produsen pun wajib menginformasikan segala bahan yang ada di dalam makanan atau minuman yang ia buat dan jual.

Sumber : IDIonline

1 komentar: