Kamis, 23 Juli 2009

Jalan Kaki Bisa Jinakan 9 Penyakit

STUDI dalam beberapa tahun terakhir semakin mengukuhkan bahwa berjalan tergopoh-gopoh dan bukan jalan santai memang memberi banyak manfaat bagi kesehatan kita. Inilah sembilan manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas jalan kaki

(1) Serangan Jantung. Pertama-tama tentu menekan risiko serangan jantung. Kita tahu otot jantung membutuhkan aliran darah lebih deras (dari pembuluh koroner yang memberinya makan) agar bugar dan berfungsi normal memompakan darah tanpa henti. Untuk itu, otot jantung membutuhkan aliran darah yang lebih deras dan lancar. Berjalan kaki tergopoh-gopoh memperderas aliran darah ke dalam koroner jantung. Dengan demikian kecukupan oksigen otot jantung terpenuhi dan otot jantung terjaga untuk bisa tetap cukup berdegup.

Bukan hanya itu. Kelenturan pembuluh darah arteri tubuh yang terlatih menguncup dan mengembang akan terbantu oleh mengejangnya otot-otot tubuh yang berada di sekitar dinding pembuluh darah sewaktu melakukan kegiatan berjalan kaki tergopoh-gopoh itu. Hasil akhirnya, tekanan darah cenderung menjadi lebih rendah, perlengketan antarsel darah yang bisa berakibat gumpalan bekuan darah penyumbat pembuluh juga akan berkurang.

Lebih dari itu, kolesterol baik (HDL) yang bekerja sebagai spons penyerap kolesterol jahat (LDL) akan meningkat dengan berjalan kaki tergopoh-gopoh. Tidak banyak cara di luar obat yang dapat meningkatkan kadar HDL selain dengan bergerak badan. Berjalan kaki tergopoh-gopoh tercatat mampu menurunkan risiko serangan jantung menjadi tinggal separuhnya.

(2). Stroke. Kendati manfaat berjalan kaki tergopoh-gopoh terhadap stroke pengaruhnya belum senyata terhadap serangan jantung koroner, beberapa studi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tengok saja bukti alami nenek-moyang kita yang lebih banyak melakukan kegiatan berjalan kaki setiap hari, kasus stroke zaman dulu tidak sebanyak sekarang. Salah satu studi terhadap 70 ribu perawat (Harvard School of Public Health) yang dalam bekerja tercatat melakukan kegiatan berjalan kaki sebanyak 20 jam dalam seminggu, risiko mereka terserang stroke menurun duapertiga.

(3). Berat badan stabil. Ternyata dengan membiasakan berjalan kaki rutin, laju metabolisme tubuh ditingkatkan. Selain sejumlah kalori terbuang oleh aktivitas berjalan kaki, kelebihan kalori yang mungkin ada akan terbakar oleh meningkatnya metabolisme tubuh, sehingga kenaikan berat badan tidak terjadi.

(4). Menurunkan berat badan. Ya, selain berat badan dipertahankan stabil, mereka yang mulai kelebihan berat badan, bisa diturunkan dengan melakukan kegiatan berjalan kaki tergopoh-gopoh itu secara rutin. Kelebihan gajih di bawah kulit akan dibakar bila rajin melakukan kegiatan berjalan kaki cukup laju paling kurang satu jam.

(5). Mencegah kencing manis. Ya, dengan membiasakan berjalan kaki melaju sekitar 6 km per jam, waktu tempuh sekitar 50 menit, ternyata dapat menunda atau mencegah berkembangnya diabetes Tipe 2, khususnya pada mereka yang bertubuh gemuk (National Institute of Diabetes and Gigesive & Kidney Diseases).

Sebagaimana kita tahu bahwa kasus diabetes yang bisa diatasi tanpa perlu minum obat, bisa dilakukan dengan memilih gerak badan rutin berkala. Selama gula darah bisa terkontrol hanya dengan cara bergerak badan (brisk walking), obat tidak diperlukan. Itu berarti bahwa berjalan kaki tergopoh-gopoh sama manfaatnya dengan obat antidiabetes.

(6). Mencegah osteoporosis. Betul. Dengan gerak badan dan berjalan kaki cepat, bukan saja otot-otot badan yang diperkokoh, melainkan tulang-belulang juga. Untuk metabolisme kalsium, bergerak badan diperlukan juga, selain butuh paparan cahaya matahari pagi. Tak cukup ekstra kalsium dan vitamin D saja untuk mencegah atau memperlambat proses osteoporosis. Tubuh juga membutuhkan gerak badan dan memerlukan waktu paling kurang 15 menit terpapar matahari pagi agar terbebas dari ancaman osteoporosis.

Mereka yang melakukan gerak badan sejak muda, dan cukup mengonsumsi kalsium, sampai usia 70 tahun diperkirakan masih bisa terbebas dari ancaman pengeroposan tulang.

(7). Meredakan encok lutut. Lebih sepertiga orang usia lanjut di Amerika mengalami encok lutut (osteoarthiris). Dengan membiasakan diri berjalan kaki cepat atau memilih berjalan di dalam kolam renang, keluhan nyeri encok lutut bisa mereda. Untuk mereka yang mengidap encok lutut, kegiatan berjalan kaki perlu dilakukan berselang-seling, tidak setiap hari. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada sendi untuk memulihkan diri.

Satu hal yang perlu diingat bagi pengidap encok tungkai atau kaki: jangan keliru memilih sepatu olahraga. Kita tahu, dengan semakin bertambahnya usia, ruang sendi semakin sempit, lapisan rawan sendi kian menipis, dan cairan ruang sendi sudah susut. Kondisi sendi yang sudah seperti itu perlu dijaga dan dilindungi agar tidak mengalami goncangan yang berat oleh beban bobot tubuh, terlebih pada yang gemuk.

Bila bantalan (sol) sepatu olahraganya kurang empuk, sepatu gagal berperan sebagai peredam goncangan (shock absorber). Itu berarti sendi tetap mengalami beban goncangan berat selama berjalan, apalagi bila berlari atau melompat. Hal ini yang memperburuk kondisi sendi, lalu mencetuskan serangan nyeri sendi atau menimbulkan penyakit sendi pada mereka yang berisiko terkena gangguan sendi.

Munculnya nyeri sendi sehabis melakukan kegiatan berjalan kaki, bisa jadi lantaran keliru memilih jenis sepatu olahraga. Sepatu bermerek menentukan kualitas bantalannya, selain kesesuaian anatomi kaki. Kebiasaan berjalan kaki tanpa alas kaki, bahkan di dalam rumah sekalipun, bisa memperburuk kondisi sendi-sendi tungkai dan kaki, akibat beban dan goncangan yang harus dipikul oleh sendi.

(9). Kanker juga dapat dibatalkan muncul bila kita rajin berjalan kaki, setidaknya jenis kanker usus besar (colorectal carcinoma). Kita tahu, bergerak badan ikut melancarkan peristaltik usus, sehingga buang air besar lebih tertib. Kanker usus dicetuskan pula oleh tertahannya tinja lebih lama di saluran pencernaan. Studi lain juga menyebutkan peran berjalan kaki terhadap kemungkinan penurunan risiko terkena kanker payudara

Detoksifikasi Supaya Organ Tubuh berfungsi Optimal

Secara alamiah sebenarnya tubuh mempunyai kemampuan membersihkan sisa metabolisme melalui proses detosifikasi. Namun, proses detosifikasi kadang tak berjalan sempurna karena organ tubuh mengalami kemunduran fungsi.
Dijelaskan oleh Dr. Veronica N.K. Dewi Kalay, M. Biomed., dari Klinik Valentino Jakarta, tubuh akan terpapar racun bila kita mempunyai kebiasaan merokok, kecanduan alkohol, tergantung obat-obatan, kurang olahraga dan mudah stres. Juga jika kita sering mengonsumsi makanan yang diawetkan dan makanan cepat saji, serta kurang serat (seharusnya satu hari minimal lima porsi buah dan lima porsi sayuran).
Sumber Penyakit
Kondisi malanutrisi karena sebab di atas mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, sistem tubuh pun tidak berfungsi efisien. Akibatnya, tubuh didera berbagai penyakit. Misalnya, bila organ hati bekerja terlalu keras dan tidak efisien, penyakit kuning dan batu empedu akan terjadi.
Dr. Veronica menyebut detoksifikasi sebagai suatu proses eliminasi atau menetralkan racun (toksin) di dalam tubuh. Tindakan itu untuk membuang timbunan sampah sisa metabolisme yang terakumulasi di dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Tujuan detoksifikasi adalah membersihkan toksin yang merusak sel-sel tubuh, memungkinkan atau memampukan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri, mengembalikan kendali fungsi dan keseimbangan alami organ tubuh secara optimal, menambah energi bagi tubuh untuk melakukan proses metabolisme dan memperbaiki setiap kerusakan yang terjadi. Juga untuk memperbaiki peredaran darah dan sistem kekebalan tubuh, memperbaiki sel yang rusak (revitalisasi) dan menjaga keseimbangannya, membangun sistem kekebalan tubuh, serta memperpanjang usia dan membuat awet muda.
Mengapa Perlu
Dijelaskan Dr. Veronica, pada dasarnya toksin menyebabkan iritasi tubuh dan memberikan efek yang merusak. Racun tersebut dapat terakumulasi dalam tubuh sehingga melemahkan elemenasi toksin, sistem kekebalan, sistem peredaran darah, merusak sistem pencernaan, sistem penyaringan dan sistem endokrin.
Tubuh memang mempunyai sistem detoksifikasi secara alamiah. Hati, misalnya, bertugas mengambil racun yang memasuki tubuh melalui makanan dan minuman, lalu mengubah ke dalam bentuk yang bisa digunakan oleh tubuh, menyimpan dengan aman atau membuangnya. Ginjal berfungsi dalam filtrasi sisa racun dari darah dan membuangnya dari tubuh dalam bentuk urin. Organ ini juga bertanggung jawab menjaga agar cairan di dalam tubuh berada dalam jumlah yang tepat.
Namun, kemampuan tubuh mengatasi toksin kini mulai diragukan karena berbagai sebab. Dalam keadaan stres berkepanjangan, tubuh bisa mengalami gangguan pencernaan sehingga proses pengeluaran racun menjadi lamban dan pemrosesan produk sisa di dalam tubuh tidak efisien. Ketidakseimbangan tersebut akan menurunkan vitalitas dan menyebabkan gangguan tubuh yang makin parah.
Apa yang terjadi bila tubuh tidak didetoksifikasi? Toksin dalam tubuh dapat terkumpul lebih cepat dan menyebabkan terjadinya penyakit kronis maupun degeneratif. Antara lain kelelahan, sakit tulang belakang, sakit kepala, demam, hipertensi, obesitas, jantung, kanker, diabetes, konstipasi, diare, rematik, wasir, osteoporosis, jerawat, bintik-bintik dan noda di wajah, gejala alergi tehadap bahan kimia serta infeksi (hepatitis, campak, antraks) dan asam urat.

Sembuh Lewat Ions Detoks

Alat ions Detox Maximan hadir memberi solusi bagi Anda yang ingin mencapai keseimbangan tubuh melalui detoksifikasi.
Metodenya, dengan membentuk ion negatif dalam tubuh yang berguna untuk menyingkirkan ion positif. Ion-ion positif yang berlebihan di dalam tubuh akan menurunkan sistem imunitas.
Dr. Budi Sugiarto Widjaja berpendapat, terapi ion detoks dapat digolongkan dalam pengobatan tradisional Cina modern. "Sebenarnya pengobatan tradisional Cina kuno tidak mengenal adanya ion atau molekul serta radikal bebas. Namun, dalam perkembangannya, seni pengobatan ini sering dikombinasikan dengan pegobatan konvensional untuk mendapatkan hasil maksimal,� ujarnya.
Dalam pengobatan tradisional Cina, proses penyembuhan penyakit dapat menggunakan tenaga listrik, seperti pada akupuntur. Nah. dalam terapi ion detoks, digunakan arus rendah 1-2 ampere dan bertegangan 5 volt saja. “Kecilnya arus dan daya membuat proses detoks berjalan aman karena tidak mengakibatkan rasa sakit. Terapi ini merangsang titik-titik pada jalur meridian kaki,� katanya.
Merendam kedua kaki dalam air yang bersuhu 40-45 derajat Celsius, menurut Santos dari PT. Primax Asia Link, akan membuka pori-pori kulit. Dengan rangsangan itu, pergerakan chi (energi vital) lebih cepat masuk melalui meridian yang melintasi jaringan kulit kaki.
Meridian utama adalah yin yang berawal dari kaki, yaitu hati, ginjal dan limpa. Chi kotor akan dibuang melalui 3 meridian yang yang berakhir di kaki pula, yaitu di lambung, kantong empedu, dan kantong kemih. Pergerakan chi kotor ini akan membawa racun keluar melalui kulit atau pori-pori, urine, dan feses.
Bila ion positif muncul dalam jumlah banyak, menurut Dr. Veronica, kita akan mudah terkena infeksi oleh mikroorganisme, yang dapat memengaruhi fungsi kerja jantung. Tentu saja diperlukan keseimbangan ion, yakni 80 persen ion negatif dan 20 persen ion positif.
Ion negatif yang banyak terdapat di dalam air akan meresap ke datam tubuh dan mengaktifkan organ-organ tubuh, meningkatkan metabolisme, serta mengaktifkan kerja enzim yang berguna dalam proses detoksifikasi racun yang berasal dari tubuh. Racun steroid, misalnya, tidak hanya terdapat di hati, tetapi juga bisa ditemukan di rongga mulut, saluran pernapasan, sistem pencernaan, kulit, serta di semua jaringan tubuh. (senior)

Detoksifikasi Bukan Obat Mujarab Menyembuhkan Kecanduan Narkoba

ORANGTUA yang mempunyai anak terkena narkotika umumnya merasa bingung sehingga berupaya melakukan berbagai cara untuk menanggulanginya. Salah satunya adalah dengan menghilangkan pengaruh narkotika dalam tubuh melalui proses detoksifikasi. Masalahnya, setelah "racun" itu hilang, apakah masalahnya selesai? mUntuk sementara, mungkin bisa dikatakan demikian. Namun tanpa ada tindak lebih lanjut sulit mengharapkan pemakai narkotika akan sembuh. Persoalan yang dihadapi pecandu tak cuma masalah fisik, lebih penting lagi soal psikis dan sosial yang penanganannya memerlukan waktu cukup panjang.
Demikian menurut Direktur Program Terracotta, Faisal N Afdhal, mengenai penanganan korban narkotika. Dia mengaku merasa heran tentang masih banyaknya orangtua yang sangat tidak memahami penanganan korban narkotika.

"Kalau sekian tahun lalu, saya masih bisa paham. Tapi sekarang ini pun masih banyak orangtua yang mengandalkan penyembuhan dengan detoksifikasi," katanya. Seolah-olah detoksifikasi merupakan obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakit kecanduan narkotika.

Beberapa penderita kecanduan malah sampai berulang-ulang delapan kali detoksifikasi yang biayanya cukup mahal.

"Bahkan ada yang 12 kali," ujar Faisal. "Ini suatu bukti kalau pecandu akan kembali dan kembali mengonsumsi obat karena dorongan untuk ke situ memang besar," ujarnya.

Kecenderungan untuk mengonsumsi narkotika yang pernah dia pakai semakin besar terjadi pada mereka yang sudah memakai untuk waktu yang cukup lama. Detoksifikasi hanya membersihkan tubuh dari sisa-sisa pemakaian yang masih terdapat dalam darah. Sementara sugestinya yang terdapat dalam pikiran masih terus melekat.

Tanpa detoksifikasi

Meski demikian bukan berarti detoksifikasi tidak perlu. Namun detoksifikasi hanya merupakan proses awal yang seharusnya dilalui sebelum seorang pecandu bisa menjauhkan diri dari keinginan untuk mengonsumsi zat-zat adiktif.

Menurut Faisal, untuk menghilangkan sisa obat dalam darah sebenarnya bisa dihilangkan sendiri tanpa harus didetoksifikasi menginap di rumah sakit. Prosesnya memang tidak sehari atau dua hari dan korban cukup menderita ketika harus melalui proses ini. Diare, tulang terasa sakit luar biasa, merupakan akibat yang harus ditanggung ketika seorang pecandu ingin memutuskan diri dari obat-obat, narkotika yang biasa dikonsumsi.

"Kalau enggak tahan, dia bisa mengonsumsi zat-zat adiktif itu," ujar Faisal yang sejak tahun 1998 terus memperdalam metode therapeutic community sebagai upaya memulihkan dari kecanduan. Lewat program tertentu, therapeutic community antara lain berupaya menciptakan pematangan emosi.

Untuk memutuskannya dari obat, pecandu perlu seseorang yang diharapkan bisa mengimbangi saat dia menjalani masa penarikan diri dari obat. Mereka yang paling cocok untuk menemani adalah mereka yang pernah menjadi pecandu juga, sehingga bisa diharapkan bisa lebih memahami perasaan-perasaan dan penderitaan yang sedang dialami pecandu.

"Yang juga penting, selama masa itu tidak boleh ada barang (obat) di sekeliling, karena akan benar-benar menggoda," begitu menurut Faisal.

Berdasar pengalaman, hari ketiga merupakan hari terberat yang harus dilalui. Pada hari berikutnya atau hari kelima biasanya proses pembersihan sudah selesai. Secara fisik pecandu sudah tidak merasa sakit bila tak mengonsumsi narkotika.

Penyakit

Adiksi narkotika bagaimanapun merupakan suatu penyakit yang harus disembuhkan oleh yang bersangkutan dengan bantuan orang lain. Yang bersangkutan bisa jadi sangat ingin terbebas dari ketergantungan, namun dia tak berdaya.

Penyakit yang satu ini dikategorikan sebagai penyakit kronis, dalam arti mereka yang sudah mengalami adiksi tidak merasa apa-apa atau merasa normal seperti orang lain. Dia tetap melakukan aktivitas harian, bisa jalan-jalan, bisa sekolah, bahkan bisa bekerja seperti umumnya orang. Cuma saja dia merasa tidak bisa lepas dari obat.

Keadaan adiktif tidak tergantung pada berapa lama seseorang sudah mengonsumsi narkotika. Orang yang baru tiga atau empat kali mengonsumsi narkotika bisa disebut sudah adiktif manakala dia merasa tidak enak bila tak memakai obat.

Mereka yang sudah mengonsumsi narkotika sekian lama mengalami perubahan, bukan cuma pada fisik, tetapi juga psikis dan sosial. Karena itu banyak keluarga pecandu yang kewalahan menghadapi perilaku pecandu yang "aneh".

"Justru itu, setelah tubuhnya terbebas dari obat, sebenarnya masih ada hal lain yang masih tersisa, yakni pengaruhnya di bagian sistem saraf otak," jelas Faisal.

Makanya dalam banyak kasus, meski secara fisik seseorang sudah berhenti dan bersih dari narkotika, bukan tidak mungkin dia menderita paraniod dan skizoprenia. Penyakit jiwa ini terutama dialami oleh mereka yang relatif lama hidup bersama narkotika.

Yayasan Terracotta, salah satu dari belasan yayasan di Jakarta yang mengkhususkan diri pada penanganan korban narkotika, membagi program pada tiga tahap. Program pertama yang mereka sebut primary program berlangsung selama enam bulan, disusul dengan program berikutnya-re-entry-sekitar enam bulan juga.

Jika pada program pertama penekanannya adalah perbaikan diri dan perilaku, pada tahap berikutnya lebih diarahkan kepada resosialisasi.

"Prinsipnya program penyembuhannya bersifat holistik, meliputi juga manajemen emosional atau psikologikal," kata Faisal. "Bagaimanapun kebiasaan memakai narkotik selama bertahun-tahun membawa pengaruh pada perasaan atau emosi, pikiran, dan tingkah laku ke luar."

Setelah kedua program dilalui, berikutnya adalah tahap after care yang merupakan tahap akhir dari keseluruhan program. Pada tahap ini para eks pemakai dianggap telah mampu kembali ke lingkungannya. Mereka tak lagi harus tinggal di tempat rehabilitasi, tetapi bisa memilih tinggal di rumah atau menjadi penghuni di tempat rehabilitasi. Mereka yang tinggal di rumah rehabilitasi diwajibkan untuk mempunyai kegiatan sekolah atau bekerja di luar.

Narkotika memang bukan main-main.

"Bahkan sekalipun seseorang sudah berhenti memakai dua tahun, lima tahun atau sepuluh tahun, bukan tidak mungkin suatu ketika akan tergelincir," kata Faisal.

Dia mengibaratkan penyakit adiksi narkotika ini seperti penyakit diabetes yang tidak bisa disembuhkan, tetapi bisa dijaga.

Manfaat Coklat

Mungkin berita satu ini dapat membuat para pencinta coklat bergembira, pasalnya ada sebuah penemuan mengindikasikan bahwa menikmati batangan coklat susu akan meningkatkan daya fungsi otak. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam coklat dikatakan mampu meningkatkan kesadaran dan kemampuan berkonsentrasi.

"Coklat mengandung banyak unsur yang bersifat menjadi stimulant antara lain theobromine, phenethylamine, dan kafein," kata Bryan Raudenbush dari Universitas Wheeling Jesuit di West Virginia mengungkapkan pendapatnya kepada pers. "Senyawa-senyawa itu telah ditemukan sebelumnya bersifat meningkatkan tingkat kesadaran dan kemampuan berkonsentrasi, dan apa yang telah kita ketahui bahwa dengan mengkonsumsi coklat kita dapat memperoleh efek stimulasi tersebut, yang akan membuat peningkatan performa menta," lanjutnya.

Raudenbush dan rekan-rekannya juga mengatakan, penelitian terhadap efek terhadap kemampuan otak terhadap sejumlah relawan yang mengkonsumsi coklat dalam beberapa jenis coklat, dalam empat kejadian terpisah yaitu kelompok pertama mengkonsumsi 85 gram batangan coklat susu, 85 gram coklat hitam, 85 gram carob, dan kelompok keempat tidak mengkonsumsi apapun.

Setelah 15 menit berselang, para relawan dalam penelitian ini menjalani beberapa tes neuropsikologis yang didesain untuk melihat perfoma kognitif, termasuk daya ingat, daya konsentrasi, kemampuan bereaksi dan kemampuan memecahkan masalah. "Nilai bagi daya ingat verbal maupun visual tertinggi bagi mereka yang masuk kelompok mengkonsumsi batangan coklat susu, dibandingkan dengan ketiga kelompok lainnya," kata Raudenbush kepada pers.

Peningkatan daya ingat baik verbal dan visual juga terjadi di kelompok yang mengkonsumsi jenis coklat lainnya, namun hasilnya berada dibawah kelompok pertama. Dari penelitian sebelumnya, telah diketahui beberapa nutrisi dalam makanan tambahan melepas glucose yang menambah aliran darah, dimana dapat berpengaruh bagi kemampuan kognitif. Hasil penemuan terkini mendukung pendapat sebelumnya, bahkan memperjelas bahwa mengkonsumsi coklat dapat meningkatkan kinerja daya kerja otak.

Malaria Tropika

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang dalam salah satu tahap perkembang-biakannya akan masuk ke dalam sistem imun (kekebalan tubuh), menginfeksi hati, dan menghancurkan sel darah merah. Pada masa inkubasi malaria plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel hati. Beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam. Demam ini dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi.

Malaria dapat dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan jenis Plasmodium penyebabnya, antara lain Malaria Tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, Malaria Quartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, Malaria Tropika atau Serebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, dan Malaria Ovale yang disebabkan oleh Plasmodium ovale. Di Indonesia, penyebab penyakit malaria yang utama adalah Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum, walaupun plasmodium jenis lain tetap ada.

Jenis malaria paling ringan adalah Malaria Tertiana, dengan gejala demam yang dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi.

Malaria Quartana memiliki masa inkubasi yang lebih lama daripada Malaria Tertiana maupun Tropika, dengan gejala pertama biasanya terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap tiga hari.

Malaria Ovale merupakan jenis Malaria yang paling jarang ditemukan, dengan gejala mirip dengan Malaria Tertiana.

Demam rimba (jungle fever ), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian.

Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat/komplikasi, sedangkan P. Vivax, P. Ovale dan P. Malariae tidak merusak organ tersebut. P. falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua di dalam otak, peristiwa ini yang disebut sekuestrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20 - 50 %, hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak sebagian kecil dapat terjadi sekuele. Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan SD sering dijumpai SD positif tanpa gejala klinis pada lebih dari 60 % jumlah penduduk.

sebaiknya anda memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam,nanti dr pemeriksaan yg lebih teliti termasuk cek lab,akan diketahui lebih pasti tingkat kesembuhan yg dicapai,n obat2/suplemen apa yg masih diperlukan selama proses pemulihan ini.

Apakah yang dimaksud dengan Polip Hidung?

Polip hidung merupakan benjolan patologis pada rongga hidung, lunak dan licin, berwarna bening atau pucat kadang-kadang berwarna kekuningan, abu-abu atau kemerahan.

Gejala subjektif polip hidung adalah buntu hidung progresif, pilek kental, suara bindeng dan pusing. Polip hidung biasanya disertai dengan sinusitis.

Diagnosis pasti sinusitis dilakukan dengan Foto Rongtgen sinus atau CT-Scan sinus Paranasal.

Apakah yang dimaksud dengan Sinusitis?

Sinusitis merupakan radang pada mukosa (selaput lendir) sinus paranasal.

Biasanya sinusitis didahului oleh infeksi saluran penapasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari. Gejala yang dirasakan antara lain demam, rasa lesu, hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke kerongkongan (post nasal drip), halitosis (bau mulut), sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, dan nyeri di daerah sinus yang terkena.

Ingus yang dapat dikeluarkan lewat tenggorokan dalam istilah medis dikenal dengan post nasal drip. Tanda ini khas pada penderita sinusitis. Sinusitis adalah radang sinus paranasal (rongga-rongga di wajah yang bermuara di lubang hidung).

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, sinusitis dibedakan atas:

1) Sinusitis akut, bila infeksi timbul beberapa hari sampai beberapa minggu
2) Sinusitis subakut, bila infeksi timbul beberapa minggu sampai beberapa bulan
3) Sinusitis kronik, bila infeksi timbul beberapa bulan sampai beberapa tahun.

Penyebab sinusitis bermacam-macam. Dapat diakibatkan oleh virus, jamur, atau bakteri (sebagian besar). Dapat pula disebabkan oleh infeksi kerongkongan, infeksi amandel, infeksi gigi bagian belakang, dll. Faktor lain yang turut serta mengakibatkan sinusitis antara lain adanya kelainan anatomis dari hidung (misalnya sekat pemisah lubang hidung kiri dan kanan yang tidak lurus), benda asing di hidung, tumor, polip, polusi lingkungan, udara dingin, dan kering.

Jika sinusitis telah berlangsung kronik, gejala yang timbul bervariasi dari ringan sampai berat, seperti:

- Gejala hidung dan kerongkongan, berupa sekret di hidung dan keronkongan. Sekret di kerongkongan secara terus-menerus akan menyebabkan batuk kronik.
- Gejala kerongkongan, berupa rasa tidak nyaman di kerongkongan
- Gejala telinga, berupa gangguan pendengaran akibat sumbatan saluran yang menghubungkan rongga mulut dan telinga
- Nyeri kepala, biasanya pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Mungkin akibat penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus.
- Gejala mata, akibat penjalaran infeksi melalui saluran air mata (saluran yang menghubungkan mata dan lubang hidung)
- Gejala saluran napas, berupa batuk dan kadang komplikasi di paru (misalnya paru-paru basah).
- Gejala saluran cerna, dapat terjadi radang pada saluran cerna akibat sekret bercampur bakteri yang tertelan.

Tidak Semua Pengawet Berbahaya

Ribut-ribut soal bahan pengawet sepertinya selalu awet. Belum reda isu penggunaan formalin, kita dikejutkan lagi dengan penarikan beberapa produk minuman yang melanggar aturan tentang pengawet.

Tapi pada saat yang sama, produsen minuman gencar beriklan produknya aman. Lalu seperti biasa, yang dibuat bingung kita-kita ini sebagai konsumen

Ketika ribut-ribut soal pemakaian formalin pada makanan, semua orang sepakat: formalin berbahaya bagi kesehatan, titik. Bahayanya tidak diragukan lagi. Tidak ada yang menyangkal. Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu hanya perkara tingkat bahayanya. Semua setuju formalin sama sekali tidak boleh dipakai sebagai pengawet makanan, berapa pun kadarnya dan apa pun alasannya.

Namun, pada kasus yang terjadi Desember 2006, ketika beberapa produk minuman kemasan ditarik dari pasaran, pendapat masyarakat tidak lagi seragam. Sebagian kalangan berpendapat, pengawet yang diributkan itu (natrium benzoat dan kalium sorbat) berbahaya bagi kesehatan jika diminum terus-menerus. Sebagian lagi berpendapat, kedua jenis pengawet itu aman dikonsumsi asalkan tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan.

Pendapat pertama diwakili oleh Komite Masyarakat Antibahan Pengawet (Kombet), lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan penemuan tentang pelanggaran itu. Dalam siaran persnya Kombet bahkan menyatakan, kedua jenis pengawet itu dalam jangka panjang bisa menyebabkan systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit yang menyerang kekebalan tubuh.

Tak ayal siaran pers Kombet ini langsung dibalas dengan siaran pers tandingan. Media massa seolah menjadi ring tinju. Tak kurang, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia serta Badan Pengawas Obat dan Makanan sampai perlu turun tangan memberi klarifikasi. Intinya, beberapa produk minuman kemasan memang melanggar aturan pelabelan dan karenanya harus ditarik dari pasaran. Meski demikian, tidak berarti produk-produk itu berbahaya jika dikonsumsi.

Aman asal taan ADI

Pengawet, seperti namanya, berfungsi membuat makanan atau minuman lebih awet sehingga punya daya simpan lebih lama. Nyaris semua produk makanan atau minuman kemasan mengandung bahan ini. Kecuali masyarakat suku pedalaman yang masih hidup dari berburu dan bercocok tanam, rasanya hampir semua orang pernah mengonsumsi pengawet. Entah dari minuman atau makanan kemasan.

Secara garis besar, pengawet dibedakan menjadi dua kelas: food grade dan non-food grade. Contoh paling gampang dari kelas food grade adalah dua pengawet yang bulan Desember 2006 diributkan, yaitu natrium benzoat dan kalium sorbat. Sementara contoh pengawet kelas non-food grade adalah formalin dan boraks, yang diributkan lebih dulu.

Selain keempat contoh pengawet di atas, sebetulnya masih banyak lagi jenis pengawet lainnya. Dari golongan pengawet food grade, masih ada propionat, sulfur dioksida, bisulfit, metabisulfit, nitrat, nitrit, dan parahidroksi benzoat. Sementara dari kelas non-food grade masih ada nitrofurazon, salisilat, dietilpirokarbonat, klorat, dan dulcin. Nama-nama ini mungkin terdengar asing bagi kebanyakan orang awam karena memang jarang disebut-sebut di teve.

Dalam ilmu pangan, pengawet golongan pertama (yang aman dipakai), biasa digolongkan sebagai generally recognized as safe (GRAS). Dalam bahasa sehari-hari, jenis pengawet ini kadang disebut sebagai pengawet makanan yang diizinkan. Sedangkan kelompok kedua disebut pengawet makanan yang tidak diizinkan.

Satu pengawet kadang muncul dengan beberapa nama. Sekadar contoh, pengawet benzoat kadang muncul dengan nama natrium benzoat, kadang sodium benzoat. Pengawet sorbat kadang ditulis sebagai kalium sorbat, kadang potassium sorbat.

Sebetulnya, nama-nama itu mengacu pada satu senyawa. Natrium bersinonim dengan sodium. Jadi, natrium benzoat sama saja dengan sodium benzoat. Begitu pula, kalium dan potasium itu setali tiga uang. Dengan kata lain, potasium sorbat itu sami mawon dengan kalium sorbat. Kadang kedua pengawet ini juga disebut sebagai asam benzoat dan asam sorbat. Penyebutan ini pun hanya untuk membedakan bentuk benzoat dan sorbat yang dipakai di dalam produk. Intinya sama-sama benzoat atau sorbat.

Sesuai kelompoknya, pengawet non-food grade sama sekali tidak boleh digunakan di dalam makanan dan minuman. Apa pun tujuannya, tahu tak boleh mengandung formalin, bakso tak boleh berisi boraks. Yang boleh dipakai hanya pengawet food grade. Itu pun harus mengikuti aturan tentang takaran maksimal.

Sebagai contoh, dosis maksimal benzoat 0,1%. Artinya, tiap kg produk tidak boleh mengandung asam benzoat lebih dari 1 g. "Asalkan batas maksimum ini tidak dilampaui, benzoat aman dikonsumsi," jamin Prof. Dr. Made Astawan, ahli teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor. Masalah kesehatan baru akan timbul kalau dosisnya melampaui batas maksimum ini. Pada kasus penarikan produk minuman dalam kemasan Desember 2006, tidak ada satu pun produk yang melanggar aturan ini.

Penentuan besarnya angka ini didasarkan pada konsep yang disebut acceptable daily intake (ADI). Konsep ini juga berlaku untuk bahan-bahan tambahan pangan lainnya macam pemanis, pewarna, penyedap rasa, dan sebangsanya. Biasanya, kita bisa menemukan informasi besarnya ADI di kemasan produk makanan atau minuman yang bersangkutan.

ADI itu jumlah maksimal suatu bahan tambahan yang bisa dikonsumsi setiap hari tanpa menimbulkan risiko kesehatan yang berarti. Dengan kata lain, asalkan tidak melampaui ADI-nya, bahan tambahan pangan seperti pengawet benzoat dan sorbat itu aman dikonsumsi. Tak perlu khawatir.

Ada di rempah dan buah

Lalu siapa yang berhak mengatakan aman dan tidak? Untuk urusan yang satu ini, dengan segala hormat, kita harus mempercayakannya kepada badan-badan resmi yang diakui secara internasional.

Di tingkat dunia, otoritas tertinggi ada di tangan World Health Organization (WHO). Sejauh ini, WHO menjamin natrium benzoat dan kalium sorbat aman dikonsumsi. Tak hanya WHO, jaminan ini juga diberikan oleh lembaga-lembaga internasional lain seperti Codex Alimentarus Commission (CAC), The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA), serta US Food and Drug Administration (FDA). Menurut Made Astawan, semua lembaga ini merupakan tempat rujukan utama dalam perkara yang menyangkut bahan tambahan pangan.

Di Indonesia, otoritas tertinggi dipegang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Pada kasus Desember lalu, Badan POM secara tegas mengeluarkan surat edaran yang menerangkan bahwa kedua jenis pengawet itu aman dikonsumsi. Keduanya sudah puluhan tahun dipakai sebagai pengawet di seluruh dunia. Kedua senyawa ini juga terdapat secara alami di dalam buah dan rempah tertentu yang biasa dikonsumsi manusia. Made Astawan memberi contoh, asam benzoat bisa ditemukan di dalam cengkih, kayumanis, dan beberapa buah berry tertentu. Itu sebabnya secara alami masakan yang kaya rempah biasanya lebih awet daripada yang tidak.

Di dalam tubuh, asam benzoat akan dimetabolisme di dalam liver. Pada organ ini, asam benzoat bereaksi dengan asam amino glisin, membentuk asam hipurat. Selanjutnya, produk asam hipurat ini dikeluarkan lewat urine. Mekanisme ini bisa mengeluarkan 66 - 95% benzoat dari dalam tubuh. Sisa benzoat yang masih tertinggal akan dimetabolisme dengan bantuan asam glukoronat. Lewat dua jalur metabolisme ini, benzoat dikeluarkan dari dalam tubuh. Sepanjang tidak ada gangguan liver, benzoat tidak akan terakumulasi.

Hingga sekarang belum ada penelitian ilmiah yang bisa menggugurkan data keamanan benzoat maupun sorbat. Kedua pengawet itu masih masuk kategori GRAS. Kalaupun ada kecurigaan bahwa kedua jenis ini berbahaya buat kesehatan, itu masih sebatas dugaan.

Tentang kasus penarikan produk minuman kemasan bulan Desember 2006, penyebabnya bukan karena pemakaian pengawet yang tidak diizinkan. Pelanggaran bukan pada pemilihan jenis pengawet, tapi pada pelabelan. Produk-produk yang ditarik itu nyata dan terang benderang membohongi konsumen karena tidak mencantumkan pengawet yang digunakan dalam produk mereka. Sebagian produk sama sekali tidak mencantumkan nama pengawet, padahal di dalamnya terdapat bahan tambahan ini. Sebagian lagi hanya mencantumkan satu nama padahal sebetulnya mengandung dua macam pengawet.

Karena pemakaian jenis pengawet maupun dosisnya tidak melanggar aturan, maka produsen produk-produk itu hanya dijerat pasal pelabelan. Badan POM hanya memerintahkan produk-produk itu ditarik dari pasaran. Meski begitu, minuman-minuman itu tetap aman dikonsumsi. Bagi awam, keterangan ini sekilas tampak membingungkan. Logikanya, kalau tidak berbahaya, kenapa harus ditarik dari peredaran? Di sinilah perlunya konsumen memahami batas. Pelanggaran pelabelan adalah satu hal. Sementara keamanan jenis pengawet adalah hal lain. Keduanya tidak boleh dikacaukan.

Bagaimanapun, temuan Kombet itu sebuah upaya perlindungan konsumen. Tapi kalau urusannya sudah menyangkut aman tidaknya pengawet, tentu ada pihak lain yang lebih berkompeten.

Hingga sekarang keamanan benzoat, sorbat, dan bahan pengawet food grade lainnya masih belum terbantahkan. Suka atau tidak, inilah pendapat yang paling kuat jika ukuran yang dipakai adalah kaidah penelitian limiah.

Meski begitu, tak sedikit kalangan yang menganggap, konsumsi bahan-bahan tambahan ini dalam jangka panjang bisa berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya, ini terlihat dari kasus penarikan produk minuman kemasan tiga bulan lalu itu. Produk-produk yang ditarik tidak mencantumkan pengawet atau hanya mencantumkan satu nama meskipun sebetulnya memakai dua pengawet. Pada saat yang sama, sebagian produsen gencar mempromosikan produknya yang bebas pengawet. Itu menunjukkan, masyarakat percaya klaim "tanpa pengawet" biasanya identik dengan "lebih aman" dari sisi kesehatan.

Terlepas dari benar tidaknya pandangan itu, adalah hak setiap orang untuk menghindari konsumsi bahan tertentu. Konsumen berhak tahu apa yang ia beli dan ia konsumsi. Produsen pun wajib menginformasikan segala bahan yang ada di dalam makanan atau minuman yang ia buat dan jual.

Sumber : IDIonline

Zat Pengganti Formalin dan Boraks

Salah satu pengganti formalin, yaitu natrium benzoat. Adapun untuk mengganti boraks sebagai pengenyal dan pengawet makanan bisa digunakan kalsium klorida.

Natrium benzoat populer digunakan pada minuman ringan dan sirup. Pada industri makanan, seperti tahu dan mi, zat kimia ini aman digunakan dalam takaran yang tidak berlebihan.

Natrium benzoat untuk pengawet makanan maksimal 1 gram per satu kilogram atau satu liter air. Jika berlebihan bisa mengundang alergi pada penderita asma dan menyebabkan hiperaktif pada anak yang mengonsumsi. Jika sesuai takaran tidak berefek.

Takaran dari kalsium klorida (CaCl) sebagai pengenyal dan pengawet makanan berkisar 1-5 gram per satu kilogram atau satu liter air. Tak ada efek samping, jika berlebihan terasa pahit.

MSG (Monosodium Glutamat)

MSG sering ditambahkan pada daging, tahu, tempe, ikan segar sebelum diolah. Bahkan secara alami juga terdapat pada sejumlah makanan. Tomat, jagung, telur, ikan, dan daging ialah beberapa di antaranya. Ia juga terdapat pada makanan olahan.

Selain itu, pada makanan beku, makanan kaleng, makanan instan, dan beberapa minuman kemasan juga mengandung MSG dengan kadar beragam. MSG tidak hanya ada pada produk makanan dan minuman kemasan atau olahan seperti saus, keju, dan yogurt. Pada bahan makanan segarpun MSG sering ditemukan.

Berapa sebetulnya batas aman vetsin bagi tubuh manusia? Menurut Badan Kesehatan Sedunia (WHO) asupan MSG per hari yang disarankan ialah sekitar 0-120 mg/kg berat badan.

Jadi, jika berat seseorang 50 kg, maka konsumsi MSG yang aman menurut perhitungan tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok teh) per hari. Rumus ini hanya berlaku pada orang dewasa. WHO tidak menyarankan penggunaan MSG pada bayi di bawah 12 minggu.

Rambu-rambu itulah agaknya yang ingin disiasati produsen. Bagaimanapun, MSG membuat makanan lebih gurih dan nikmat.

Di Indonesia, produk-produk berlabel bebas vetsin atau bebas MSG mulai banyak beredar. Label itu banyak terdapat pada biskuit dan penyedap rasa.

Tapi benarkah produk itu benar-benar bebas MSG, butuh pengamatan lebih lanjut. Konsumen sebenarnya bisa melakukan beberapa langkah sederhana untuk mengetahuinya. Antara lain dengan meneliti produk yang diklaim bebas MSG itu. Bila dalam labelnya terdapat kata-kata autolyzed yeast, hydrolyzed soy protein, atau sodium caseinate, maka artinya produk tersebt mengandung MSG.

Selain kata hydrolyzed, cek pula kata amino acid. Sebab, asam amino juga sering menjadi samaran untuk menutupi keberadaan MSG dalam suatu produk.

Penyedap rasa yang diproduksi di Indonesia umumnya merupakan hasil gula tetes tebu (molase). Gula tetes yang banyak mengandung glutamin itu diproses sedemikian rupa hingga mengeluarkan asam glutamat. Pada produk penyedap rasa terdapat sekitar 40 persen MSG.

Vetsin lantas juga dibuat dalam berbagai bentuk yang memudahkan pemakaiannya. Ada yang berbentuk bubuk, cair, maupun padat. Bentuk bubuk ada yang menyerupai butiran garam ada pula yang seperti tepung. Namun, fungsi dasarnya tetap sama, menyedapkan masakan.

Sebenarnya, tidak terlalu berbahaya mengonsumsi MSG, asal tidak terlalu sering dan 'obral' dalam pemakaiannya. Apalagi, kini MSG juga telah dimodifikasi menjadi kaldu instan. Yang banyak beredar ialah penyedap rasa kaldu sapi dan kaldu ayam. Meski disebut kaldu, ia tetap mengandung MSG, tak berbeda dengan vetsin biasa.

Sejumlah bahaya yang dikandung MSG hingga kini masih menjadi perdebatan. MSG dikatakan menjadi penyebab migrain, sulit bernafas, kerusakan retina, dan bahkan kanker. Yang jelas, bagi orang tertentu vetsin memang dapat mengganggu kesehatan.

Gejala umum yang biasa menyertai santapan bervetsin ialah leher dan dada panas, sesak napas, disertai pusing-pusing. Gejala ini sering disebut sebagai 'sindrom restoran Cina'. Menyantap 2 - 12 gram MSG sekali makan sudah bisa menimbulkan gejala ini. Gejala itu akan segera menghilang dua jam kemudian.

MSG,dapat menembus plasenta pada saat kehamilan, menembus jaringan penyaring antara darah otak, dan menyusup ke lima organ circumventricular. Pelindung darah otak yang terkontaminasi dapat mengakibatkan kelainan hati, trauma, hipertensi, stres, demam tinggi dan proses penuaan. MSG juga memicu reaksi gatal, bintik merah di kulit, mual, dan muntah sakit kepala, migren, asma, gangguan hati, ketidakmampuan belajar dan depresi.
Penggunaan MSG lebih berisiko pada bayi dan anak-anak.

Sejumlah tujuh makanan ringan dalam kemasan (snack) yang biasa dikonsumsi anak-anak tidak mencantumkan kandungan MSG (vetsin) yang diyakini bila MSG dikonsumsi dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak.

Nurhasan dari (Public Interest Research and Advocacy Center-PIRAC) di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya sudah meneliti 13 contoh makanan ringan yang beredar luas.

Dari 13, tujuh diantaranya mengandung Mono Sodium Glutamate--MSG tetapi tidak mencantumkannya dalam kemasan, empat produk menyatakan mengandung penyedap dan penambah rasa tetapi tidak menyebutkan mengandung MSG dan dua produk mencantumkan MSG namun tidak menyebut jumlah kandungannya.

Ketujuh produk tersebut adalah Cheetos (1,20 persen), Chitato rasa sapi panggang (1,06), Chiki rasa keju (0,76), HappytosTorpilachips (0,71), Golden Horn rasa keju (0,46), Smax rasa ayam (0,57), dan Taro Snack rasa rumput laut (0,62).

Keempat produk yang menyatakan mengandung penyedap dan penambah rasa tetapi tidak menyebutkan mengandung MSG adalah Zetz rasa ayam bumbu mamamia (0,50), Twistko rasa jagung barbeque (1,59), Double Decker Snack ayam (0,48) dan Twistee Corn (0,47). Keempat produk itu dinilai dianggap menyesatkan karena menyebutkan mengandung penyedap rasa tetapi tidak menyebutkan mengandung MSG.

Dua produk yang mencantumkan MSG tetapi tidak menyebutkan jumlah kandungannya adalah Gemez rasa ayam panggang (0,59) dan Anak Mas rasa keju (0,52).

Kerokan, Berbahaya Enggak Sih?

Orangtua selalu menyarankan, jika kita masuk angin, maka kita harus kerokan agar angin di tubuh kita segera keluar. Lalu dengan bermodalkan sekeping uang logam plus balsem, punggung kita dikerok hingga menimbulkan guratan merah. Semakin merah guratan, artinya banyak angin.
Yang telah masuk dan diusir dengan kerokan tadi. Benarkah prinsip tersebut? Kerokan tak hanya populer di Indonesia. Vietnam menyebut kerokan sebagai cao giodi, Kamboja menjulukinya goh kyol, sementara di China dikenal dengan sebutan gua sua. Bedanya, orang China memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam.

Faktanya, warna merah yang dihasilkan dari kerokan merupakan pertanda pembuluh darah halus (kapiler) di bawah permukaan kulit pecah sehingga terlihat sebagai jejak merah di tempat yang dikerok. Efeknya, pembuluh darah kulit yang semula menguncup akibat terpapar dingin atau kurang gerak menjadi melebar sehingga darah kembali mengalir deras.

Penambahan arus darah ke permukaan kulit ini meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan virus. Selain itu, kerokan akan membuat penderita masuk angin merasa nyaman karena saat kerokan tubuh telah melepas hormon endorfin yang mengurangi salah satu gejala masuk angin, yaitu nyeri otot.

Asalkan tidak menjadi kebutuhan primer, kerokan tidak berbahaya. Namun, jika terus-terusan kerokan, itu bisa mengakibatkan banyak pembuluh darah kecil dan halus pecah. Tak hanya itu, kerokan juga bisa menimbulkan kecanduan karena efek hormon endorfin yang dikeluarkan tadi. (kompas)

Layar Komputer yang Mengancam Mata si Kecil

Kebanyakan main games di komputer ternyata bisa menyebabkan ‘kelelahan otot mata’ alias asthenopia. Kalau dibiarkan berlarut-larut, akibatnya bisa cukup serius.

Boleh dibilang, komputer sudah jadi salah satu bagian dari gaya hidup Anda, termasuk juga anak. Lihat saja, belum genap usia sekolah, ia sudah begitu piawai bermain games di komputer.

Nah, ‘tersihirnya’ si kecil dalam waktu yang cukup lama di depan layar komputer mau tak mau ikut mempengaruhi otot-otot matanya. “Bagi anak-anak, keadaan ini bisa menimbulkan berbagai keluhan yang mungkin tak pernah Anda duga sebelumnya,” ujar dr. Rosdeni Arifin, Sp.M, Wakil Ketua Komite Medik, Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong.

Benarkah mata bisa lelah?

Sebenarnya, mata bekerja mirip kamera, yakni menangkap bayangan benda. Bayangan atau informasi gambar yang diterima oleh mata akan masuk melalui seperangkat ‘kamera’ di mata, berupa kornea, pupil dan lensa yang transparan. Nah, organ-organ ini berhubungan erat kerjanya dengan otot-otot mata.

Masalahnya, untuk melihat dalam jarak dekat, seperti melihat layar komputer, perlu kerja ekstra dari lensa dan otot mata. Kerja ekstra apa sih?

- Lensa mata harus mencembung untuk mencari fokus benda yang akan dilihatnya .

- Kedua bola mata harus bekerja sama untuk menyatukan bayangan saat mata melihat obyek dalam jarak dekat. Apalagi, jika obyeknya cukup kecil.

- Menggerakkan bola mata ke arah bayangan yang datang, agar tampak jelas. Misalnya, untuk mengikuti games di komputer, bola mata si kecil harus ‘bolak-balik’ ke kanan atau ke kiri.

Sebetulnya sejak lahir sampai usia setahun, mata bayi termasuk rabun dekat karena bayangan jatuh di belakang retina. Benda-benda dalam jarak dekat (kurang dari 30 cm) akan terlihat kurang jelas, jika otot matanya dalam keadaan relaks. Untuk melihat benda sedekat itu dengan jelas, mau tidak mau lensa dan otot-otot mata harus berusaha keras agar bayangan jatuh di retina. Kalau begitu, apa bahayanya?

Khusus balita, yang pada dasarnya masih rabun dekat secara fisiologis, mungkin tidak akan terasa apa-apa pada awalnya. “Namun, bayangkan saja, jika otot matanya ‘dipaksa’ untuk bekerja terus menerus selama berjam-jam di depan layar komputer akibat si kecil bermain games yang gerakannya sangat cepat danterus menerus,” tutur dr. Rosdeni, Bagian Mata RSUD Cibinong.

Belum lagi, jarak antara mata dengan layar komputer biasanya cukup dekat. Kalau sudah begitu, lengkaplah sudah ‘derita’ sang mata. Lelahnya makin menjadi-jadi.

Anak tak mampu mengatakan

Ketegangan yang ditimbulkan dalam permainan games di layar komputer, seringkali membuat anak-anak jarang berkedip. Jika permainannya seru, si kecil seolah-olah ‘tersihir’ dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Matanya jadi tak bosan-bosannya memelototi layar komputer.

Padahal nih, kedipan-kedipan mata punya arti tersendiri dalam pemeliharaan kesehatan mata. Bagaimana tidak? Mata ‘kan dilindungi secara anatomis oleh berbagai bagian, seperti kelopak mata, alis serta bulu mata. Proses mengedip pun juga melindungi mata agar tidak mudah kering.

Memang, air mata berguna untuk membersihkan kotoran yang masuk ke mata, melumasi mata, melindungi mata (karena mengandung antibakteri dan antibodi), mengandung nutrisi (glukosa, elektrolit, dan enzim protein), serta sebagai media ‘transportasi’ oksigen dan udara. Jika pasokan air mata kurang dan pelumasan mata menurun, apalagi dalam jangka lama, maka kesehatan mata pun terganggu. Sesekali sih mungkin masih tak terasa. Namun, lama kelamaan akan menimbulkan keluhan juga.

Nah, mata yang jarang mengedip akibat keasyikan memelototi layar komputer akan mengalami penguapan berlebihan. Lengkap sudah ‘penderitaan’ mata si kecil kalau ruangan tempatnya mengutak-atik komputer itu ber-AC, penuh kepulan asap rokok, debu, dan sebagainya. Kok bisa begitu? Selain terasa kering, penglihatannya akan buram plus kemampuan melihat pun menurun. “Padahal, anak kecil biasanya belum bisa bilang keluhan yang dirasakannya. Jika dibiarkan berlarut-larut, bisa terjadi gangguan penglihatan yang menetap,” kata dr. Rosdeni.

Sering dianggap penyakit lain

Kelelahan kerja otot mata dan lensa mata memang bisa muncul dalam berbagai bentuk (untuk jelasnya, simak “Inilah Beberapa Gejala Lelahnya Mata”). Tak heran ‘kan kalau gejala ini bisa disalahartikan dengan penyakit lainnya.

Memang, begitu si kecil mengeluh pusing, tengkuknya sakit dan mual, biasanya Anda langsung membawanya ke dokter anak. Setelah dirontgen kepalanya, ternyata kondisinya baik-baik saja. Namun, karena ia tetap pusing, mual, bahkan kadang-kadang muntah, barulah dokter menganjurkan agar ia diperiksa matanya. “Ternyata, si anak menderita rabun dekat. Dan, rabun dekatnya itu diperparah dengan kebiasaannya bermain game dengan jarak layar yang teramat dekat dengan matanya,” tutur dr. Rosdeni.

Adakah pengaruhnya bila menggunakan filter di depan layar komputer? Ternyata, cara ini tidak dapat sepenuhnya mencegah kelelahan otot mata. Penelitian di Amerika Serikat terhadap 25.000 pengguna komputer memang menunjukkan, filter tidak terlalu berpengaruh dalam mencegah kelelahan otot mata.

Jadi, bukan tak mungkin kalau si kecil yang sehari-harinya selalu terpaku di depan komputer bermain game suatu ketika akan mengeluh pusing, penglihatan tak jelas, mual-mual sampai pingsan. Bisa jadi, ia tidak menderita penyakit serius, melainkan terganggu akibat kebiasaannya berlama-lama di depan komputer. Memang sih komputer perlu dikenal anak sejak dini. Namun demi kesehatannya, sebaiknya diatur saja jam-jam bermainnya. Kalau tidak, matanya yang jadi ‘korban’. Lagi-lagi, semua ini tergantung Anda!

Sumber : AyahBunda Online